Ilustrasi Foto Oleh Muhammad Naziful Haq |
Nasori (bukan nama sebenarnya) mendengakkan kepalanya sedikit. Matanya meraba layar berukuran 5 inci yang ia genggam, memastikan gambar yang terpotret gawainya itu benar-benar fokus. Baru beberapa detik ia memfokuskan kamera gawai, dari belakang terdengar himbauan yang agak lantang “eh awas kepalanya Nas! Aku belum moto PPT.”
Nasori menyingkir sambil berdesakan dengan kawan-kawannya yang lain yang ingin memotret materi pelajaran dari sorot layar proyektor. Suasana kelas gaduh. “Nas, bagi fotonya dong. Kirim ke WA” sergap salah seorang teman Nasori. “Makasih ya Nas” kata teman Nasori setelah mendengar suara pemberitahuan dari gawainya.
Suasana yang dialami Nasori umumnya dapat kita temui ketika kelas berakhir. Di era digital, semua pelajar punya buku, namun belum tentu punya catatan. Dan semua pelajar punya foto materi pelajaran, namun belum tentu semua foto tersebut diserap substansinya oleh pikiran.
Seorang filosof Inggris, Luciano Floridi (2014) menyebutnya era hyperhistory, sebuah periode masa ketika jumlah rekaman yang dibuat manusia melampaui batas wajar satuan waktu dan kuantitasnya di luar kemampuan pencerapan manusia. Periode di mana jumlah informasi dari awal sejarah manusia lahir hingga ke tahun 2000 tidak sebanding dengan ujung kuku dari jumlah informasi dari tahun 2000 ke 2020. Sejarah (atau informasi), akhirnya terlalu cepat dan terlalu banyak dicatat hingga terlalu mudah dilupakan.
Nasori mungkin akan memiliki coretan di buku catatannya, dan terggelam dalam subtansi materi pelajaran yang ia tulis bila ia hidup bukan di era hyperhistory. Di era hyperhistory, informasi dapat diperoleh dengan mudah, akurat keberadaannya dan disimpan dengan penuh kepastian. Jadi, Nasori tidak perlu merasa khawatir kehilangan informasi yang baru saja ia peroleh di kelas.
Minimnya rasa kekhawatiran kehilangan informasi menyebabkan informasi menjadi cepat menjenuhkan bila dilihat terlalu serius ataupun berulang-ulang. Nasori juga merasa baik-baik saja meski subtansi foto yang ia potret belum berpindah ke dalam ingatannya karena ia merasa aman bahwa informasi telah terabadikan di gawainya.
Era Oral: Nasori Harus Mengingat
Bila Nasori hidup di era oral, nasibnya akan sangat berbeda meski kekhawatiran akan kehilangan informasi tetap ada namun sedikit lebih rendah dibanding di era hyperhistory. Di era oral, kalau Nasori salah bicara, maka ia bisa dibunuh oleh komunitas tempat ia tinggal. Transmisi informasi dari mulut ke mulut menentukan keberlangsungan hidup. Kebalikan dari era hyperhistory, di era oral, jumlah informasi sangat langka, namun kualitasnya sangat akurat. Bayangkan, kira-kira masalah apa yang akan muncul jika Nasori memberikan informasi palsu kepada komunitasnya ketika mereka sedang berburu Babi?
Di komunitas tempat Nasori tinggal, belum ada tulisan yang dapat Nasori baca. Komunitasnya hanya mengenal lukisan di dinding goa. Mereka hanya menuangkan pengalaman penting dalam lukisan dinding goa. Di kehidupan sehari-hari, obrolan yang Nasori dan komunitasnya bicarakan sangat terbatas pada pengalaman indrawi.
Hal itu salahsatunya disebabkan karena Nasori dan komunitasnya belum punya tempat penyimpanan informasi yang lebih aman selain ingatan mereka sendiri dan dinding goa. Walter J. Ong, dalam bukunya yang berjudul Orality and Literacy (1985), mengatakan, masyarakat era oral gemar menyematkan kata sifat yang gemerlap dan menggunakan gaya berbahasa yang repetitif agar mudah mengingat sesuatu. Syair merupakan salah satu bentuk cara masyarakat oral untuk memvalidasi sesuatu, sama validnya sebagaimana screenshot di masa kini.
Selain belum tersedianya tempat penyimpanan yang lebih aman, masalah lain yang Nasori hadapi bila ia hidup di era oral adalah, betapa ‘lokal’-nya informasi yang bersliweran di sekitarnya saat itu. Bertatap muka dengan orang lain mau tidak mau menjadi satu-satunya cara agar Nasori bisa mengetahui sesuatu. Karena ingatan adalah satu-satunya tempat penyimpanan yang bisa dibawa kemana-mana, mau tidak mau Nasori harus fokus ketika bertatap muka dengan orang lain, memastikan pikirannya merekam ucapan dengan baik. Kalau ada konteks ucapan yang membingungkan, Nasori bisa seketika itu juga mengklarifikasinya ke lawan bicara.
Era Tulisan: Nasori Harus Analitik
Lain cerita jika Nasori hidup di era tulisan. Alkisah, dulu ada seorang raja di Mesir bernama Raja Thamus. Ia dikunjungi oleh seorang dewa penemuan, Theuth. Theuth berkunjung ke balairung untuk pamer sekaligus meminta raja merestui temuan-temuan barunya. Jadilah Dewa Theuth mendemonstrasikan temuan-temuannya. Geometri, aritmatika, dan sebagainya ia peragakan. Hingga tibalah di peragaan tulisan. Ketika hendak memperagakan tulisan, Theuth berkata:
“Yang Mulia, ini [tulisan] adalah adalah obat bagi lupa. Dan semua orang bisa membawa pengetahuannya kemanapun.”
“Wahai Theuth, Bapak dari Segala Temuan! Temuanmu yang satu ini (tulisan) bukanlah obat lupa. Tapi orang akan menulis dan berhenti mengingat, dan kebijaksanaan palsu akan muncul.”
Di era tulisan, Nasori tidak harus selalu bertatap muka untuk mendapat informasi baru. Namun ia perlu berpikir dengan perlahan ketika membaca tulisan agar tidak salah paham konteksnya. Oleh karena itu, tumpuan utama masyarakat era tulisan bukanlah penyematan kata sifat ataupun repetisi, tapi grammar. Grammar dibutuhkan agar pembaca tulisan tidak salah paham. Pada taraf konsekuensi tertentu, kebiasaan menggunakan grammar menyebabkan terciptanya masyarakat yang analitik. Mereka teliti dalam membaca alur gagasan antar kalimat.
Bila ada kebingungan dalam memahami konteks tulisan, Nasori perlu menemui penulisnya yang berada di lokasi dan jarak yang entah di mana. Hal inilah yang menurut pandangan Raja Thamus dapat memberikan ruang bagi kebijaksanaan palsu.
Akan tetapi, komentar Raja Thamus terhadap tulisan tidak sepenuhnya benar. Berkat tulisan, informasi dapat berpindah tempat, atau dengan kata lain, terjadi distribusi pengetahuan. Ketika semua orang mulai menulis, maka butuh tempat penyimpanan. Awalnya hanya menyimpan di batu, lalu di daun lontar, lalu menyimpan di kertas, dan sampailah dibangun perpustakaan.
Sebab itulah, seorang Raja di Persia kuno, Anu Syirwan, mau repot-repot mengutus seorang penerjemah bernama Barzawaih untuk menyalin naskah Hikayat Kalilah & Dimnah yang ditulis oleh seorang arif-bestari, Baidaba, di tanah Hindustan. Sama halnya seperti Barzawaih yang perlu mempertaruhkan nasib hidupnya dalam perjalanan yang tak pasti, dari Persia ke Hindustan, begitu juga nasib Nasori di era tulisan bila ia hendak mencari informasi baru.
Di era tulisan, bila Nasori adalah seorang pelajar yang tekun dan terlahir di daerah rural, maka berkelana adalah kegetiran yang harus ia terjang. Sebabnya, kota adalah tempat sirkulasi informasi. Di dalamnya ada kafilah dagang, dan bermacam ilmuan dan petualang yang butuh dituangkan informasinya atau diabadikan kisahnya. Maka dibangunlah perpustakaan.
Artinya, mengunjungi perpustakaan Aleksandria, Baghdad ataupun Damaskus adalah bukti komitmen bahwa Nasori benar-benar serius menjadi pelajar. Di sela-sela kelananya, Nasori bisa bertemu dengan beragam kafilah dan rombongan karavan yang dari banyak daerah. Berjumpa dengan mereka, baik itu di dalam kota ataupun di jalur lintas daerah, sama ibaratnya dengan menyambangi angkringan ke angkringan di Yogyakarta saat ini. Selalu ada informasi baru.
Berkelana di era tulisan adalah cara cepat mendapatkan informasi, sama ibaratnya seperti melakukan googling di era hyperhistory. Bila Nasori malas, ia cukup berdiam di kampung halamannya dan menanti karavan yang mampir di daerahnya untuk mengisi ulang perbekalan. Dari situ Nasori bisa mendapat informasi baru, kertas, dan bila beruntung, mendapat buku baru.
Akan tetapi, baik itu berkelana ataupun berdiam diri di kampung, dua-duanya adalah langkah awal bagi Nasori untuk mendapatkan informasi baru. Langkah berikutnya adalah Nasori harus memastikan dirinya ‘literate.’ Misalnya, di dalam karyanya Ibnu Khaldun yang monumental, Muqaddimah, ada sebuah uraian tentang perbedaan, di Spanyol, Maghrib (sekarang adalah Maroko, Afrika Utara), dan di Ifriqiyyah (daerah timur Afrika dan semenanjung Arab seperti Mesir dan sekitarnya), soal standar minimum tingkat literasi yang harus dipenuhi sebelum seseorang boleh belajar Qur’an.
Bila Nasori belajar di Magrib, ia harus menguasai ortografi Al-Qur’an dan mengusasi perbandingan pendapat antar para Al-Qur’an terdahulu sebelum ia diperbolehkan mempelajari yurisprudensi, filologi arab dan sastra. Bahkan, Nasori tidak akan diperbolehkan ‘boyong’ atau hengkang begitu saja sebelum ia benar-benar menguasai kurikulum utama.
Gambar 3 Papan sekolah di Andalusia abad 12. (sumber: http://bdh.bne.es/bnesearch/detalle/bdh0000050696) |
Bila Nasori tinggal di Spanyol, Nasori wajib menguasai filologi dan sastra Arab terlebih dahulu sebelum ia diperbolehkan mempelajari Al-Qur’an. Tentang cara belajar di Spanyol, Ibnu Khaldun mengutip komentar seorang hakim yang bernama Abu Bakar bin Al-Arabi, “syair [sastra] adalah arsipnya orang Arab. Sastra dan filologi Arab harus diajarkan terlebih dahulu karena saat ini terjadi kebobrokan berbahasa. Bila telah menguasai keduanya, seorang kemudian pelajar harus mempelajari aritmatika sampai benar-benar menubuh, dan memahami prinsip dasarnya. Setelah itu, ia baru boleh mempelajari Al-Qur’an.” Di Ifriqiyyah, Nasori akan mendapat kurikulum yang menekankan keseimbangan antara studi Al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Bila Nasori telah menguasai ilmu umum dan ilmu Al-Qur’an, ia diharuskan menulis. Apapun.
Gambaran situasi di tiga daerah tersebut menyiratkan bahwa, Nasori pelu memiliki kualifikasi tertentu sebelum berinteraksi dengan bentuk media tertentu (Tulisan dan oral) agar tidak terjadi, mungkin istilahnya, intellectual malfunction?
Masa Depan Nasori di Era Hyperhistory
Di dua era yang telah disebutkan di atas, Nasori sebagai manusia masih memiliki fungsi diri yang luas. Artinya, ia masih dituntut untuk mengingat, mencatat dan menganalisa. Di era hyperhistory, fungsi diri itu perlahan―namun agresif―diakuisisi oleh teknologi. Per-2018, setidaknya ada 2.5 quintrilliun (25.000.000.000.000.000.000) data yang dihasilkan oleh penduduk Bumi dalam satu hari.
Gambar 4 Server di Silicon Valley (sumber: shuttlestock) |
Nasori tidak perlu bersusah payah berkelana menemui seseorang di suku sebelah dan menyimak ucapannya dengan seksama. Saat ini ia dilingkupi rasa aman bahwa ucapan orang bisa ‘diputar ulang’ dan tersimpan aman sekaligus mustahil terhapus. Berkunjung ke perpustakaan juga bisa termasuk kegiatan yang tidak lagi diperlukan ketika berdiam diri kamar bersama gawai bisa sekejap mengantarkan Nasori pada semua tulisan Aristotle yang selamat.
Kepastian penyimpanan, lokasi, manajemen dan pengelolaan informasi membuka bentuk perilaku baru. Di dua era sebelumnya, Nasori menggantungkan kepastian informasi pada tubuhnya. Seiring berjalannya waktu, ketergantungan itu membuat Nasori dipayungi oleh predikat-predikat yang orang zaman dulu menyebutnya ‘hewan yang berpikir,’ atau ‘de anima’ (makhluk yang mengiluminasi dunia), ‘terhantar dari kegelapan ke terang.’ Artinya, Nasori adalah makhluk berintelegensia yang tumbuh kembangnya dipupuk oleh waktu.
Di era hyperhistory, Nasori menggantungkan kepastian informasi pada ‘sesuatu’ yang berada di luar tubuhnya. Saat ketergantungan itu beriringan dengan datafikasi segala aspek kehidupan, atau on-life, maka hidup Nasori digerakkan oleh satu hyperlink ke hyperlink lain. Baik itu hyperlink yang ada di halaman website, ataupun hyperlink dalam obrolan sehari-hari yang berupa gugahan hasrat pencarian daring.
Sebelum mengetahui sesuatu, Nasori perlu merasa penasaran dan mencari sesuatu tersebut. Siklus ini terjadi secara berulang dan dalam jangka panjang. Dunia yang Nasori tinggali berubah menjadi ‘information dread-out,’ Artinya, Nasori tahu sekaligus lupa dalam sekejap karena terlalu banyak informasi dan hyperlink yang perlu ia kejar dan jelajahi.
Sebagaimana dua era sebelumnya yang memiliki format belajar yang menyesuaikan dengan cara menyimpan dan mengelola informasi pada zamannya, di era hiperhistory, Nasori punya cukup pendek waktu untuk mengingat, dan punya cukup luas penyimpanan untuk menampung informasi, dan punya cukup cerdas alat untuk berpikir. Nyaris tidak tersisa dari diri Nasori yang masih perlu digunakan lagi.
Ribuan tahun lalu, Aristole pernah menyatir, “belajar butuh waktu nganggur, tapi waktu nganggur belum tentu butuh belajar.” Dulu Nasori selalu dibayangi rasa takut dan rasa ketidak-pastian: kalau bepergian tak tau arah dan takut tersesat; kalau bertemu orang, tak tau apakah ada kesempatan berjumpa berikutnya, bagaimana kabarnya dan apakah masih hidup atau tidak; kalau lapar, tak tau kapan musim dan di mana tanah yang tepat untuk menanam pangannya; kalau sakit, tak tau obatnya.
Dengan kata lain, mampu bertahan hidup atau tidaknya Nasori bergantung pada kemampuan diri dalam menerangi terra incognita, atau gelapnya wilayah ketidak-tahuan. Rasa takut dan rasa ketidak-pastian itu mendorong Nasori untuk terus selalu meningkatkan ‘pendar cahaya’ dalam dirinya. Saat pendar cahaya itu berpindah ke teknologi, bukan lagi di dalam dirinya, maka, masihkah belajar cocok untuk mengisi waktu luang Nasori? Jawabannya tergantung saat pulang sekolah nanti.
Penulis dan Ilustrasi Foto oleh: Muhammad Naziful Haq/Arsiparia