|
Foto ilustrasi pasangan muda siluet jatuh cinta menikmati waktu bersama saat matahari terbenam, foto oleh Freepik_jcomp |
Disadari atau tidak, di manapun kita berada―entah di ruang tamu saat lebaran,
ataupun di puncak bukit saat pacaran―keberadaan gawai tidak pernah lepas dari
tangan kita, dan selalu dibiarkan merekam setiap gerak-gerik suatu momen kita
alami. Sampai-sampai kita lupa untuk menikmati momen yang lebih empiris
dibanding yang virtual. Kemudahan dokumentasi momen di era informasi
menjadikan penghargaan dan penghormatan orang terhadap momen menjadi lebih
rendah dibanding era pendahulunya. Uraian tesis ini akan diawali lewat sebuah
kisah.
Di hikayat Aziz dan Azizah, dalam kisah 1001 Malam, alkisah Aziz sedang pergi
ke pasar. Ia berjalan menyusuri gang-gang kota, dan menabrak seorang nenek. Si
nenek terjatuh, begitu pula Azis. Azis bergegas bangkit dan membantu si nenek
membereskan barang bawaannya yang tercecer. Di ceceran barang bawaan itu, Azis
melihat ada sebuah buku besar tebal. Ia penasaran dan bertanya:
“buku apa itu nenek?”
“ini adalah buku kumpulan pesan dari orang-orang hilang untuk kekasihnya. Aku
membawakan ini untuk putriku. Ia ditinggal oleh kekasihnya, dan sampai saat
ini kekasihnya tak kunjung tiba. Putriku terus menanti, dan selama itu pula
tiada hari tanpa air mata.” Jawab si nenek.
Si nenek diam sejenak sambil menunggu Azis selesai merapikan barang. Kemudian
si nenek berkata:
“anak muda, mau kah kau membantuku?”
“apa itu nek?” tanya Aziz.
“mau kah kau ikut aku sebentar ke rumahku dan membacakan pesan-pesan ini
kepada putriku. Aku berharap, dengan dibacakannya buku ini oleh mu, kesedihan
putri ku bisa terobati.” Kata nenek.
Aziz menyanggupi permintaan si nenek.
Meskipun cerita ini hanya penggalan, namun sebelum memasuki pembahasan, mari
bayangkan, kira-kira: cengkrama seperti apa yang dilakukan si putri ketika ia
masih bersama kekasihnya, situasi masyarakat seperti apa yang mereka tinggali,
bayangkan bagaimana persepsi si putri dalam memandang dan mengingat kekasihnya
(dan vice versa), bayangkan juga ,kira-kira kesedihan seperti apa yang dialami
si putri, apakah kesedihan yang ia alami sama atau berbeda dengan kesedihan
yang hari ini sering kita temui.
Lalu anda berada di posisi putrinya si nenek atau posisi si
kekasihnya. Keduanya sama-sama dirundung ketidak-pastian dan bertanya-tanya:
di mana kekasih ku? Kemana ia pergi? Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana
kabarnya? Kapan ia kembali? Di mana aku bisa mendapat kabar tentangnya?
Informasi berkerja berdasarkan prinsip question and answer. Pertanyaan muncul
dari perasaan ketidak-pasti dan ketidak-tauan. Apapun bentuknya, mulai dari
kasus putrinya si nenek, hingga kasus searching di Google. Oleh karena itu,
baik si putri maupun kekasihnya, mereka berdua butuh memberikan dan
meninggalkan jejak bagi orang yang mereka anggap bermakna. Bagi si putri,
informasi tentang kekasihnya (apapun itu bentuknya) yang mungkin ia terima
adalah pecahan riwayat realita yang bisa ia masuki sebagai perluasan dari
dunia fisik.
Meskipun hikayat Aziz dan Azizah ditulis jauh sebelum era romantik terjadi di
Eropa, namun pada dasarnya, romantisme telah lama hadir di setiap kehidupan
dan peradaban manusia. Kredo utama romantisme adalah, satisfaction beyond the
world, atau ‘kepuasan yang melampaui dunia.’ Romantisme tidak hanya sebatas
tentang hubungan percintaan, tapi juga mencakup momen apapun yang dialami
seseorang dan ia merasa tenggelam pada momen itu, sehingga muncul rasa
kerelaan untuk mengurung diri dalam penjara waktu.
Sepanjang sejarah, manusia telah banyak dibantu melarikan diri dari realitas
materil yang sering kali menyakitkan ke realitas imajinatif yang lebih
bermakna dan lebih nyaman oleh artefak-artefak yang terus berkembang. Mulai
dari lukisan di dinding gua, cerita dan kabar dari pengembara antah-berantah,
buku kumpulan pesan-pesan dari orang hilang (yang mungkin hanya ada satu
karena pada itu belum ada mesin cetak/printing press), hingga ke timeline
Instagram yang omnipresent. Sering kali, orang sengaja bertatap dengan arsip
agar bisa menenggelamkan diri dalam sebuah romantika.
Bagi si putri yang ditinggal kekasihnya, realitas materil sungguh pahit. Untuk
mengobati itu ia butuh satu hal: artefak yang memuat potongan realitas yang
mewakili kondisi kekasihnya. Ketika Aziz datang dan membacakan buku itu, maka
si putri perlu terlibat banyak proses rekognisi terhadap apa yang dibacakan
Aziz agar dapat bisa menuntaskan rasa ketidak-pastiannya.
Rekognisi ini merentang mulai dari hal sekecil susunan titik, garis, bentuk
yang menyusun huruf-huruf yang ada di dalam buku itu, kemudian mengenali wujud
materilnya, mengenali bagaimana Aziz bercerita, mengenali alur cerita,
mengenali kombinasi keseluruhan dari hal-hal itu, dan terakhir memberikan
penilaian predikatif terhadap keseluruhan elemen yang membentuk ‘informasi,’
baik itu elemen kecil, hingga elemen besar hasil kombinasi.
Sebenarnya tidak ada definisi tunggal tentang informasi. Tapi, satu definisi
yang cukup memadai yang berasal dari Ibn Rusyd. Informasi, adalah at-tasawwur
bil aql, atau representation by the intellegence (representasi yang diciptakan
oleh ‘makhluk berintelejensi.’ Jadi, apapun yang ditinggalkan (menjadi jejak)
dan diciptakan oleh manusia adalah informasi. Namun informasi belum tentu
bermakna. Agar bisa bermakna, informasi harus mendapat tasdiq, atau penilaian
predikatif tentang benar/salah (baik itu komposisi materil, ataupun koherensi
dan korespondensi maknanya) dari orang lain yang memungut informasi tersebut. (
Capurro, Rafael. 2014)
Cara kerjanya yang demikian membuat informasi selalu relasional. Dengan kata
lain, informasi adalah basis utama bagi hubungan antar manusia. Perlu
digarisbawahi juga, bahwa informasi berbeda dengan teks (text). Sesuatu dapat
dikatakan teks ketika memuat empat hal: tanda/sign (penyusun materil),
dirangkai/arrangement, maksud/intention, dan bermakna/meaning, dalam A Theory
of Textuality, Gracia, J.E. 1995.
Akan tetapi, meskipun informasi dan teks berbeda, keduanya sama-sama saling
berkaitan. Dikutip dari Information and Society, Bucland, Michael, 2016,
informasi bisa menjadi teks. Dan sebuah ataupun sekumpulan teks juga bisa
menjadi informasi. Persoalan hubungan keduanya memang rumit sekaligus cair.
Apalagi jika berkaitan dengan besar-kecil sempit-luasnya penyusun materil yang
menyusun mereka berdua. Dalam kerumitan itu, sering kali kita akan menemukan
tumpang tindih batasan antara terminologi dokumen, arsip, informasi, teks,
berkas, dll.
Namun ada satu hal yang patut digaris-bawahi, bahwa seiring dengan bergulirnya
zaman, manusia selalu menciptakan medium dan penyusun materil yang lebih
memadai untuk mengangkut kompleksitas potongan realita yang mungkin tidak
mampu diangkut oleh medium pendahulunya. Semakin holistik suatu kompleksitas
realita yang dapat diangkut, maka semakin ‘kaya’ informasi yang dapat
diberikan.
Nah, problem utama yang membelit si putri yang ditinggal kekasihnya adalah: ia
hidup di era tulisan sebelum Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak. Pada
era ini, meskipun informasi sudah bisa berpidah tempat (termediasi), namun
kompleksitas dan kuantitasnya masih sangat terbatas. Di era tulisan,
ketidak-pastian masih menjadi bagian inheren bagi kehidupan manusia. Mereka
yang hidup di era tulisan tidak sepenuhnya memiliki kebebasan untuk
mengabadikan momen, atau membuat ‘penjara waktu’ yang suatu saat bisa mereka
kunjungi.
Di samping itu, mereka yang berhasil mengabadikan momen belum tentu berhasil
menyampaikannya ke orang yang dituju. Jangan bayangkan menyampaikan sebuah
surat dengan jarak 10 kilometer di era tulisan adalah sama mudahnya dengan di
era digital. Kalaupun seseorang bisa mendapatkan kurir pengantar surat, namun
tetap saja ia masih akan dirundung ketidak-pastian. Si kurir tidak punya
informasi yang pasti tentang kapan dan di mana si penerima surat sedang berada
pada waktu dan tempat tertentu yang sedang disambangi si kurir.
Mendapatkan informasi di era tulisan pra-Gutenberg adalah privilese. Era
tulisan pra-Gutenberg, yang notabene masyarakatnya masih berbentuk feodal,
punya kesenjangan akses informasi yang luar biasa. Seseorang perlu benar-benar
terlihat mencolok, entah itu karena statusnya sebagai raja ataupun pedagang,
ataupun karena kemasyhuran dirinya sebagai ksatria, jester, ilmuan, seniman,
dan apapun itu, agar punya domisili dan mobilitas yang lebih ‘pasti,’ sehingga
si kurir bisa lebih mudah menemukannya dibanding menemukan seseorang yang
berasal dari kalangan rakyat biasa.
Tuntutan keberlangsungan hidup, seperti persoalan makan, mengadu nasib untuk
naik kelas sosial, memenuhi panggilan cinta, menguntit seseorang yang
ditarget, dan lain sejenisnya, tidak jarang membawa rakyat biasa pada
petualangan ketidak-pastian, dan menyeretnya pada tempat asing, pada
pertaruhan hidup-mati, pada mobilitas dan domisili yang acak (random). Hal ini
menjadikan rakyat biasa nyaris mustahil bisa menerima kabar yang dikirim oleh
kekasihnya yang juga sama-sama bernasib tidak pasti.
Himpitan-himpitan itu yang membuat masyarakat era tulisan pra-Gutenberg punya
apresiasi dan hormat yang sangat tinggi terhadap sebuah momen yang mereka
alami dan terhadap sebuah ‘artefak’ (entah itu bentuknya surat, benda, atau
apapun itu) yang diberikan oleh orang lain. Masyarakat era tulisan
pra-Gutenberg menyadari bahwa mereka tidak tau apakah kehadiran seseorang dan
pengalaman sebuah momen dapat terulang dua kali. Ketidak-tau-an (atau
ketidak-pastian) ini menempatkan mereka pada rasa takut terhadap kehilangan
apa dan siapapun yang menjadi sumber utama makna hidup mereka.
Di prelude hikayat Aziz dan Azizah, dikisahkan bahwa Aziz hendak pergi sholat
Jum’at di masjid desanya. Ia datang agak terlambat, sehingga masjid beserta
pelatarannya sudah dipenuhi oleh para jamaah. Aziz akhirnya menggelar sajadah
di salah satu sudut pelataran. Kebetulan, pelataran itu bersebelahan dengan
sebuah rumah tingkat. Aziz melihat ke bagian atas rumah itu. Ada sebuah
jendela, dan tiba-tiba jendela itu terbuka.
Aziz melihat ada seorang perempuan berwajah bagai bulan purnama di jendela
itu. Ia hanya memakai pakaian yang kurang menutupi dadanya. Dari lantai dua,
perempuan itu melambaikan tangan, berkedip genit dan menjatuhkan saputangan ke
Aziz. Aziz hanya diam membatu dibius oleh kecantikan perempuan tersebut.
Saputangan itu jatuh tepat di sajadah Aziz. Aziz mengambilnya. Setelah dibuka,
sapu tangan itu ternyata terbuat dari anyaman Persia bermotif kijang berwarna
biru. Aromanya kasturi.
Perempuan itu kemudian menutup jendela. Ketika sholat jumat berakhir, Aziz
memutuskan untuk menunggu dibawah jendela. Ia penasaran dan menerka, mungkin
perempuan itu akan keluar rumah, atau mungkin perempuan itu akan membuka
jendelanya lagi. Aziz menunggu sampai matahari tenggelam. Namun harapan dan
dugaannya tidak tak kunjung nyata. Kala petang semakin pekat, Aziz memutuskan
untuk pulang sambil menahan rasa gemetar, dingin dan cemas.
Sesampainya di rumah, Aziz meceritakan apa yang dialaminya kepada Azizah.
Azizah menafsirkan perilaku perempuan yang diceritakan Aziz. Azizah mengatakan
“kakak, perempuan itu menyuruh kakak agar menemuinya kembali 10 hari lagi di
taman saat menjelang petang.” Sejak hari itu, Aziz demam beberapa hari dan
keadaannya semakin parah sampai menjelang hari pertemuan.
Ditulis oleh Mohammad Naziful Haq
Alumi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Fokus di isu-isu komunikasi politik & digitalisasi. zipnazip@gmail.com