Menggugat Ke-ideal-an Masa Depan Pemuda

Seorang pemudi sedang mengajar anak-anak di desa Sedo. Anak-anak tak dapat berangkat ke sekolah karena dampak pandemi Covid-19. Foto Oleh Imelda Idamayanti.


Setiap keluarga memiliki kisah-kisah unik tersendiri. Kisah perjalanan hidup sebuah keluarga dapat dinikmati lewat foto, video, atau bahkan catatan harian. Saat ini, dokumentasi kisah hidup sebuah keluarga dapat sangat mudah dilakukan berkat kemajuan teknologi. Setiap saat seseorang dapat melakukan foto keluarga dan membaginya kepada kerabat lain. Kita patut berterima kasih pada media sosial. 


Sebelum kita tiba di era informasi, keluarga melakukan dokumentasi dengan cara yang analog, minim elektronik dan tidak se-multimedia hari ini. Louisa May Alcott, penulis kelahiran 29 November 1832 di Amerika Serikat menuliskan kisah hidup keluarganya lewat buku harian. Kesehariannya bersama keluarga, kekasih dan teman-temanya tercatat dengan jelas. Berkat catatan harian itu, kisah keluarganya Louisa May Alcott dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Lewat buku yang berjudul Little Women, Louisa May Alcott membagi kisahnya ke orang lain. Hingga saat ini novel tersebut masih dapat dijumpai dalam terjemahan indonesia.


Selain diabadikan lewat buku catatan harian, kisah hidup keluarganya Louisa May Alcott juga kini dapat dinikmati lewat film berjudul Little Women yang rilis pada bulan Februari 2020 lalu. Sutradara film Little Women Greta Gerwig mengatakan “Saya membaca ulang buku itu ketika dewasa. Saya terpesona dengan kisah tentang wanita, ambis, seni dan uang didalam novel tersebut.”


Film Little Women mengisahkan empat saudara perempuan dalam satu keluarga yaitu Meg (Emma Watson), Jo (Ronan), Betha (Eliza Scanlen) dan Amy (Florance Pugh). Mengambil latar abad 19 saat perang saudara di Amerika Serikat. Keempat saudara hidup bersama ibunya Marmee (Laura Dern). 


Kisah keluarga dalam film tersebut berpusar pada impian dan cinta  antar saudara yang terkadang bergesekan satu sama lain. Jo adalah karakter pemuda yang tangguh untuk mengejar karirnya sebagai penulis. Dia tidak percaya dengan perkawinan. Baginya perkawinan hanya akan merugikan perempuan. Laki-laki akan memegang kendali penuh dalam keluarga sehingga dia tidak dapat bebas mengejar mimpinya. Jo ingin tetap melajang dan memperjuangkan mimpinya sendiri. Untuk mengejar mimpinya sebagai penulis, Jo pergi ke New York. Disana dia bertemu dengan Friedrich Bhaer (Louis Garrel) seorang kritikus tulisan yang membantu karirnya. 


Berbeda dengan Jo, Meg ingin menjalani hidup sederhana dengan menjadi ibu rumah tangga. Meg memutuskan untuk menikahi John Broke (James Norton), seorang pengajar Bahasa latin, yang miskin menimbulkan gesekan dengan Jo. Karena Meg memiliki bakat sandiwara, Jo menyuruh Meg untuk tidak menikahinya dan mendalami hidupnya sebagai pemain teater. Meg tetap kukuh pada pilihannya untuk menikah. Baginya, hidup sederhana bersama orang yang ia cintai dan tinggal di pedesaan adalah impian yang harus digapai. 


Intervensi tentang mimpi ideal nyatanya seringkali terjadi, khususnya ketika pemuda merajut kisah hidupnya. Tujuan hidup yang ia tentukan tidak jarang bergesekan dengan tuntutan lingkungan di sekitarnya. Setiap pilihan yang diambil memiliki resiko yang layak untuk diperjuangkan.


Hal serupa juga penulis alami ketika di masa perkuliahan. Bahwa jalan hidup mahasiswa kearsipan adalah menjadi PNS, begitulah narasi yang telah dibangun. Hal tersebut  mengakibatkan mimpi pemuda menjadi seragam dan tak menemukan arti.


Mimpi seperti apa yang layak anda perjuangkan? Dari buku harian Louisa May Alcot kita dapat belajar bahwa mimpi seseorang yang berbeda bukan berarti mimpi tersebut tidak baik. Setiap pemuda memiliki definisi kebahagiaan tersendiri. Ia berhak memperjuangkannya.


Penulis Oleh Ahmad Luthfi/Arsiparia

Foto Oleh Imelda Idamayanti

0 komentar