Mengurai Benang Kusut Penyesuaian Arsiparis
Ilustrasi Foto Freepik “Bagi anda yang jadi arsiparis yang cukup magel ya, magel itu istilah lain untuk telo, tau ketela ya mas ya? telo, telo yang nanggung tidak mateng dan tidak dan masih mentah itu magel, tentu akan sulit untuk menghadapi tantangan penyelamatan arsip ini”. Berikut merupakan pernyataan dari Drs. Burhanudin Dwi Rokhmatun, M.A.P. pada acara Webinar yang diselenggarakan oleh Arsiparia dengan tema Alternatif Pengarsipan Secara Digital Menuju Budaya Baru pada tanggal 27 Juni 2020. Pernyataan yang bersifat peringatan tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi arsiparis agar selalu memutakhirkan kemampuannya dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Pernyataan Pak Buhanudin menyiratkan bahwa arsiparis memiliki peran krusial dalam upaya penyelamatan arsip yang tercipta. Tata kelola arsip yang optimal merupakan upaya pendukung penyelamatan arsip. Namun, sayangnya tata kelola arsip di Indonesia belum mencapai titik optimal. Salah satu penyebab belum optimalnya tata kelola arsip di Indonesia adalah, jumlah sumber daya manusia pengelola arsip yang belum memenuhi kebutuhan kerja pengarsipan. Mustari Irawan selaku Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pada tahun 2017 lalu memapaparkan jumlah arsiparis yang tersedia masih belum memenuhi kebutuhan, “saat ini jumlah arsiparis yang tercatat ada 3.252 orang, sementara kebutuhan arsiparis untuk pusat dan daerah diperkirakan sebanyak 142.760 orang,” ujarnya, seperti yang dikutip dari laman resmi Kementerian PAN-RB, Selasa (15/09/2020). Upaya yang dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mencukupi kekurangan tersebut salah satunya dengan cara pengangkatan Arsiparis melalui jalur penyesuaian (inpassing). Dalam Peraturan Kepala ANRI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Fungsional, inpassing memang termaktub. Deputi Bidang Informasi Pengembangan Sistsem Kearsipan, Dini Saraswati pada tahun 2015 lalu menyampaikan bahwa kebijakan ini adalah solusi strategis dalam menghadapi penetapan moratorium penerimaan Aparatur Sipil Negara. Ada beberapa persyaratan untuk menduduki jabatan arsiparis melalui jalur inpassing, yaitu: pertama, memiliki ijazah minimal Diploma-III dan sertifikat/Surat Keterangan Mengikuti Pelatihan Kearsipan sebagai bukti memiliki kompetensi di bidang kearsipan. Sertifikat kompetensi merupakan bukti diakuinya profesionalitas seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, upaya pemenuhan amanat undang-undang tentang pengangkatan arsiparis melalui jalur penyesuaian belum terlaksana secara optimal. Contohnya pengalaman dari rekan saya yang telah menjadi PNS dengan ijazah SMA di tahun 1992. Di bulan Agustus 2016 lalu, Aisyah (bukan nama sebenarnya) diangkat dan dilantik menjadi arsiparis Terampil Lanjutan atau ‘arsiparis mahir’ melalui proses inpassing. Pada mulanya Aisyah tidak mengetahui arsiparis itu apa, “kalo tau arsiparis yang cak mano, yo dak tau” (jika tahu arsiparis yang seperti apa, ya saya tidak tahu) ujarnya dalam bahasa Palembang pada kesempatan wawancara langsung di tanggal 16 September 2020 lalu. Setelah dilantik, tugas, tanggung jawab dan kewajiban yang ada pada jabatan arsiparis itu juga melekat kepadanya. Meski pendaftaran arsiparis melalui jalur inpassing cenderung terbuka luas bagi jurusan non-kearsipan, tapi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang arsiparis cukup berat. Misalnya, apabila seorang arsiparis melakukan kesalahan, ia dapat dikenakan sanksi pidana ataupun sanksi administrasi. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan menjelaskan, pejabat yang menghilangkan atau merusak arsip negara dapat dikenakan hukuman administrasi dan denda maksimal Rp.500.000.000,00. Dalam acara Sosialisasi Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yang dilaksanakan pada tanggal 04 Desember 2013 di Banjarmasin, persoalan sanksi tersebut dipertegas oleh Deputi Bidang Pembinaan Kearsipan ANRI Dr. Andi Kasman, SE., MM., beliau menyampaikan bahwa pejabat maupun pengelola dokumen/arsip yang tidak melakukan pengelolaan arsip aset atau arsip terjaga dengan baik dan benar akan mendapatkan denda dan sanksi administrasi dan hukum seperti pemecatan ataupun hukuman penjara. Kembali pada kisahnya Aisyah. Setelah empat tahun menduduki jabatan Arsiparis Terampil Lanjut, barulah Aisyah berhasil lolos pendaftaran untuk mengikuti Diklat Fungsional Pengangkatan Arsiparis Kategori Keterampilan yang digelar oleh Pusdiklat Kearsipan ANRI pada Oktober tahun 2020. Diklat ini seharusnya ia ikuti sebelum diangkat ke jabatan fungsional sebagai arsiparis. Selama empat tahun menduduki jabatan arsiparis, ia telah menganulir dua persyaratan pengangkatan. Dengan tidak terpenuhinya syarat tersebut, secara tidak langsung menyiratkan bahwa mengangkat pegawai tanpa memberi bekal yang cukup adalah ‘solusi’ masih dilakukan. Instansi tempat ia bekerja dinilai belum cukup optimal dalam pemenuhan kompetensi bagi arsiparis inpassing. Aisyah sendiri mengaku cukup sulit untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan Diklat semacam ini. Di Indonesia, sebenarnya sudah berdiri organisasi profesional kearsipan tingkat nasional, yakni Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI). AAI memiliki misi untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu arsiparis di Indonesia. Namun, peran AAI Secara nyata masih belum terasa, khususnya dalam proses inpassing dan pemenuhan kompetensi bagi arsiparis. Aisyah sendiri belum tercatat sebagai anggota AAI, meskipun ia sudah diangkat menjadi Arsiparis. Berkaca dari asosiasi serupa namun dalam lini yang berbeda, ada seorang rekan yang berprofesi sebagai apoteker dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta, namanya Bela Dwi Nurditia (25 Tahun). Meskipun bukan seorang PNS, Bela Dwi Nurditia (25 tahun)―salah satu alumni Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta―telah terdaftar secara resmi sebagai anggota Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Kemampuannya telah diakui secara resmi dalam sebuah Surat Tanda Registrasi, begitupun hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi tersebut melekat padanya. Proses untuk mendapatkan gelar apoteker bagi sarjana farmasi dilalui dengan tahap mengikuti pendidikan profesi apoteker di Universitas. Kemudian dilanjutkan mengikuti uji kompetensi sebelum mereka dinyatakan lulus dan disumpah sebagai apoteker. Uji Kompetensi diselenggarakan oleh Universitas dan bekerjasama dengan IAI. Jika seorang peserta gagal dalam uji kompetensi, maka ia harus mengulang uji kompetensi. Proses ini wajib diikuti oleh calon apoteker sebelum ia berhak menyandang gelar apoteker. Hadirnya IAI dalam mempersiapkan dan meningkatkan kompetensi anggotanya secara terstruktur, memunculkan pertanyaan kenapa Asosiasi Arsiparis Indonesia belum melakukan hal serupa dalam mempersiapkan tenaga profesionalnya? Akan lebih baik apabila AAI bersama Lembaga Pembina Kearsipan di Indonesia menyelenggarakan sertifikasi kompetensi seperti yang dilakukan oleh Ikatan Apoteker Indonesia, untuk mempersiapkan dan menjamin kelayakan calon tenaga kearsipan yang mengelola aset negara maupun swasta. Adanya standar kompetensi penyelenggara kearsipan diharapkan dapat membantu penyelamatan arsip statis milik negara seperti dokumen tekstual, foto, video, film, kaset, peta dan desain bangunan. Alternatif ini tentu akan mempengaruhi beberapa tatanan yang ada saat ini, namun dinilai perlu untuk menciptakan tata kelola arsip yang lebih baik. Selama ini, sebagian besar yang menduduki jabatan fungsional arsiparis cenderung hanya bersembunyi di balik kebanggaan dan kebesaran nama arsiparis, yang dikemudian hari dikhawatirkan dapat menghilangkan mereka secara abadi dalam sejarah kearsipan. Penulis Ivon Purnama Ahmar/Arsiparia |
0 komentar