Low End Theory #2 – Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945
Audiens dan personil Arsiparia dalam diskusi Low End Theory #2 (Dok. Arsiparia) |
Jakarta, 8 Maret 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional sekaligus mengenang 83 tahun pendudukan Jepang di Hindia Belanda, OK.Video, Jurnal Karbon, dan ARSIPARIA menyelenggarakan acara Low End Theory #2: Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945. Acara ini berlangsung di Aula Gudskul Ekosistem, Jakarta, dengan menggabungkan diskusi, presentasi arsip, dan pemutaran dokumentasi sejarah terkait Ianfu—istilah yang merujuk pada perempuan korban sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang.
Low End Theory adalah program diskusi dari OK.Video yang berfokus pada kolaborasi dan pengolahan arsip dalam berbagai medium. Edisi kedua ini bekerja sama dengan ARSIPARIA, kolektif pengarsipan yang sejak 2020 aktif mendokumentasikan dan mempreservasi arsip-arsip mengenai Ianfu di Indonesia. Acara ini juga turut mengenang 100 tahun kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer melalui pembacaan dan penelaahan karyanya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
|
Diskusi dimoderatori oleh Berto Tukan dari Jurnal Karbon dan menghadirkan lima narasumber dari ARSIPARIA: Afrianda Setiawan, Muhammad Najiful Haq, Rahmad Azhar H, Mifta Febri Ardani, dan Abida Ainun. Para pembicara membedah secara historis dan dokumentatif realitas pahit yang dialami para Ianfu di Indonesia, serta menekankan pentingnya kerja pengarsipan sebagai bagian dari upaya memulihkan memori kolektif bangsa.
Afrianda membuka sesi dengan memperkenalkan latar belakang berdirinya ARSIPARIA—yang bermula dari kebutuhan mendesak menyelamatkan arsip keluarga pasca banjir besar Jakarta tahun 2019. Seiring waktu, ARSIPARIA berkembang menjadi kolektif yang berfokus pada pengarsipan sejarah keluarga, sejarah minor, dan suara-suara yang kerap terpinggirkan.
Nazif menyampaikan pemaparan historis mengenai praktik perbudakan seksual oleh militer Jepang di awal abad ke-20 sebagai konteks kemunculan sistem Ianfu. Ia juga menyoroti masih minimnya kesadaran publik dan kebijakan negara dalam menangani kekerasan seksual, termasuk perbedaan data jumlah korban yang belum terverifikasi hingga kini.
Rahmad Azhar, yang juga merupakan seorang fotografer dokumenter, membagikan pengalamannya mendokumentasikan kehidupan penyintas seperti Ronasih dan Umi Kulsum di Sukabumi. Ia menekankan bahwa fotografi bukan sekadar medium visual, tetapi juga bagian penting dari proses pengarsipan sejarah.
Miftah membahas tantangan teknis dalam upaya preservasi arsip, mulai dari digitalisasi hingga konservasi dokumen kertas dan pita magnetik yang rusak akibat bencana. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan akses terhadap arsip-arsip ini lintas generasi.
Abida menutup sesi dengan memaparkan dokumen hukum terkait hubungan Indonesia-Jepang pasca perang yang tidak mencantumkan hak-hak korban secara eksplisit. Ia juga menampilkan dokumentasi pribadi milik para penyintas, seperti foto keluarga Umi Kulsum dan peninggalan pribadi Mardiyem, yang kini menjadi bagian dari arsip ARSIPARIA.
Acara ditutup dengan pemutaran wawancara bersama Akisa Matsuno, peneliti asal Jepang yang mendalami isu Ianfu di Asia Tenggara. Dalam wawancara tersebut, Matsuno menegaskan bahwa konflik Ianfu adalah konflik memori, bukan sekadar sejarah. Mewariskan ingatan ini ke generasi mendatang, menurutnya, adalah bagian dari perjuangan menuju demokrasi dan keadilan.
Selama dua jam penuh, acara ini berhasil mempertemukan berbagai perspektif tentang sejarah, memori, dan pentingnya kerja pengarsipan dalam menghadapi masa lalu yang belum selesai. Lebih dari sekadar mengenang, acara ini menjadi ruang refleksi atas kekerasan berbasis gender di masa kini, serta urgensi memperjuangkan keadilan bagi para penyintas dan keluarganya.
Ditulis oleh Vania Sukma, Sahabat Arsiparia.
- Acara kolektif ini diselenggarakan oleh OK Video, Jurnal Karbon, dan Arsiparia dalam ruang lingkup Gudskul ekosistem.
0 komentar