Karya instalasi digital After the 86th Stroke, Synchronize Fest X tahun 2025 yang berlangsung di JIExpo Kemayoran. Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
Di antara cadas dan pecahnya Synchronize Fest X 2025 di JIExpo Kemayoran yang berlangsung pada 3, 4, 5 Oktober 2025, sebuah instalasi digital After the 86th Stroke menyelinap dengan sunyi namun tajam. Karya ini membisikkan sejarah yang selama ini dibungkam, jeritan yang disublim dalam cahaya, dan detak yang menuntut kita untuk mendengar kembali dengan hati yang utuh. Di balik ketukan yang berulang seperti denyut nadi terakhir, kita diajak menyimak wajah-wajah yang pernah dipaksa bungkam, para perempuan yang dijadikan budak seks militer Jepang dikenal dengan sebutan “ianfu”.
Potongan-potongan poster propaganda dan visual perang diputar berulang seiring irama enigmatik yang menyuarakan kembali kehadiran wajah-wajah korban yang selama ini terhapus dari kesadaran kolektif. Instalasi ini menjadi ruang pengalaman yang mengalih media visual menjadi suara. Tiap potongan visual mengandung tubuh. Ritne keduanya seolah menggugat, akankah kita tetap lupa?
Penampilan musik oleh @ramaputratantra dan @san_gondez dalam instalasi digital After the 86th Stroke pada Synchronize Fest X tahun 2025 di JIExpo Kemayoran. Difoto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
EkaHindra, sebagai narator dan peneliti yang selama lebih dari dua dekade mengumpulkan kesaksian para penyintas “ianfu”, menyisipkan kehadirannya secara halus namun tajam. Dalam karya ini, suaranya bukan hanya narasi, ia adalah penjaga ingatan, saksi sunyi yang tak ingin sejarah ini kembali dikubur oleh kealpaan kolektif.
![]() |
Suasana Pengunjung di karya instalasi digital After the 86th Stroke, Synchronize Fest X tahun 2025 yang berlangsung di JIExpo Kemayoran. Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
Editor oleh Muhammad Naziful Haq
After the 86th Stroke - By kinski.kinski.kinski x Arsiparia x EkaHindra
|
Jakarta, 8 April 2025, Low End Theory adalah program diskusi dari OK.Video yang berfokus pada kolaborasi dan pengolahan arsip dalam berbagai medium. Edisi kedua ini bekerja sama dengan ARSIPARIA, kolektif pengarsipan yang sejak 2020 aktif mendokumentasikan dan mempreservasi arsip-arsip mengenai Ianfu di Indonesia. Acara ini juga turut merupakan kelanjutan eksplorasi kolaboratif tentang apa yang mungkin bisa dilakukan dari kerja-kerja kearsipan Ianfu di Indonesia.
Diskusi dimoderatori oleh Berto Tukan dari Jurnal Karbon dan menghadirkan lima narasumber: Muhammad Naziful Haq (ARSIPARIA), Risa Tokunaga (Tokyo University of Foreign Sudies), Ruth Indiah Rahayu ( Aktivis & Redaktur IndoPROGRESS), dan EkaHindra (Peneliti Indipenden Ianfu). Para pembicara memberikan pembedahan berdasarkan latar belakang masing-masing dan menekankan pentingnya reaktualisasi dan relevansi isu ianfu untuk situasi masa kini.
Nazif membuka sesi dengan menceritakan awal mula ARSIPARIA berdiri dan koleksi arsip apa saja yang ARSIPARIA miliki. Berdiri pada 2019, ARSIPARIA mulai menjalin kolaborasi bersama EkaHindra. Banyak dari koleksi arsip EkaHindra yang sebagian besar berupa arsip personal penyintas Ianfu, dipreservasi oleh ARSIPARIA. Seiring berjalannya waktu, arsip-arsip ini mulai diolah menjadi aneka bentuk tulisan dan format lain yang berusaha memperkenalkan isu Ianfu kepada publik.
Eka membagikan bagaimana pertemuan pertamanya dengan isu Ianfu hingga membawanya pada posisi saat ini sebagai peneliti yang telah menerbitkan beberapa buku tentang Ianfu. Baginya, aktivisme untuk isu Ianfu telah banyak, tetapi kerja penelitian masih relative sedikit di Indonesia. Menurut Eka, data-data material ataupun kesaksian penyintas perlu dikumpulkan. Selain karena dapat memperkuat kerja-kerja aktivisme, data-data ini juga berpacu dengan waktu.
Risa menjelaskan bahwa kajian Ianfu sangat penting karena di beberapa wilayah lain seperti Singapura, Jepang dan terutama Korea, isu ini tidak saja telah dikaji secara serius melainkan juga telah menjadi memori kolektif yang berpengaruh terhadap kesadaran nasional.
![]() | |
|
Sementara itu Ruth memaparkan, pokok utama isu Ianfu sebenarnya tidak sebatas soal kejahatan perang dan perkosaan, tetapi ada military complex di baliknya. Perbudakan seks secara massal tidak mungkin bisa dilakukan tanpa military complex yang sistematis yang kelak dapat menghindarkan pihak-pihak militer untuk bertanggungjawab.
Selama 2 jam lebih, diskusi ini telah memantik beragam gagasan yang layak dibahas lebih matang pada pertemuan yang lebih mengerucut.
DItulis oleh Muhammad Naziful Haq.
- Acara kolektif ini diselenggarakan oleh OK Video, Jurnal Karbon, dan Arsiparia dalam ruang lingkup Gudskul ekosistem.
Low End Theory #3 – Kisah Ianfu dan Refleksi Atasnya.
Audiens dan personil Arsiparia dalam diskusi Low End Theory #2 (Dok. Arsiparia) |
Jakarta, 8 Maret 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional sekaligus mengenang 83 tahun pendudukan Jepang di Hindia Belanda, OK.Video, Jurnal Karbon, dan ARSIPARIA menyelenggarakan acara Low End Theory #2: Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945. Acara ini berlangsung di Aula Gudskul Ekosistem, Jakarta, dengan menggabungkan diskusi, presentasi arsip, dan pemutaran dokumentasi sejarah terkait Ianfu—istilah yang merujuk pada perempuan korban sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang.
Low End Theory adalah program diskusi dari OK.Video yang berfokus pada kolaborasi dan pengolahan arsip dalam berbagai medium. Edisi kedua ini bekerja sama dengan ARSIPARIA, kolektif pengarsipan yang sejak 2020 aktif mendokumentasikan dan mempreservasi arsip-arsip mengenai Ianfu di Indonesia. Acara ini juga turut mengenang 100 tahun kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer melalui pembacaan dan penelaahan karyanya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
|
Diskusi dimoderatori oleh Berto Tukan dari Jurnal Karbon dan menghadirkan lima narasumber dari ARSIPARIA: Afrianda Setiawan, Muhammad Najiful Haq, Rahmad Azhar H, Mifta Febri Ardani, dan Abida Ainun. Para pembicara membedah secara historis dan dokumentatif realitas pahit yang dialami para Ianfu di Indonesia, serta menekankan pentingnya kerja pengarsipan sebagai bagian dari upaya memulihkan memori kolektif bangsa.
Afrianda membuka sesi dengan memperkenalkan latar belakang berdirinya ARSIPARIA—yang bermula dari kebutuhan mendesak menyelamatkan arsip keluarga pasca banjir besar Jakarta tahun 2019. Seiring waktu, ARSIPARIA berkembang menjadi kolektif yang berfokus pada pengarsipan sejarah keluarga, sejarah minor, dan suara-suara yang kerap terpinggirkan.
Nazif menyampaikan pemaparan historis mengenai praktik perbudakan seksual oleh militer Jepang di awal abad ke-20 sebagai konteks kemunculan sistem Ianfu. Ia juga menyoroti masih minimnya kesadaran publik dan kebijakan negara dalam menangani kekerasan seksual, termasuk perbedaan data jumlah korban yang belum terverifikasi hingga kini.
Rahmad Azhar, yang juga merupakan seorang fotografer dokumenter, membagikan pengalamannya mendokumentasikan kehidupan penyintas seperti Ronasih dan Umi Kulsum di Sukabumi. Ia menekankan bahwa fotografi bukan sekadar medium visual, tetapi juga bagian penting dari proses pengarsipan sejarah.
Miftah membahas tantangan teknis dalam upaya preservasi arsip, mulai dari digitalisasi hingga konservasi dokumen kertas dan pita magnetik yang rusak akibat bencana. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan akses terhadap arsip-arsip ini lintas generasi.
Abida menutup sesi dengan memaparkan dokumen hukum terkait hubungan Indonesia-Jepang pasca perang yang tidak mencantumkan hak-hak korban secara eksplisit. Ia juga menampilkan dokumentasi pribadi milik para penyintas, seperti foto keluarga Umi Kulsum dan peninggalan pribadi Mardiyem, yang kini menjadi bagian dari arsip ARSIPARIA.
Acara ditutup dengan pemutaran wawancara bersama Akisa Matsuno, peneliti asal Jepang yang mendalami isu Ianfu di Asia Tenggara. Dalam wawancara tersebut, Matsuno menegaskan bahwa konflik Ianfu adalah konflik memori, bukan sekadar sejarah. Mewariskan ingatan ini ke generasi mendatang, menurutnya, adalah bagian dari perjuangan menuju demokrasi dan keadilan.
Selama dua jam penuh, acara ini berhasil mempertemukan berbagai perspektif tentang sejarah, memori, dan pentingnya kerja pengarsipan dalam menghadapi masa lalu yang belum selesai. Lebih dari sekadar mengenang, acara ini menjadi ruang refleksi atas kekerasan berbasis gender di masa kini, serta urgensi memperjuangkan keadilan bagi para penyintas dan keluarganya.
Ditulis oleh Vania Sukma, Sahabat Arsiparia.
- Acara kolektif ini diselenggarakan oleh OK Video, Jurnal Karbon, dan Arsiparia dalam ruang lingkup Gudskul ekosistem.
Low End Theory #2 – Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945
Tentara Jepang menempatkan perempuan mayoritas berusia 12-25 tahun di ianjo (kamp perkosaan atau rumah bordil) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, melalui cara-cara penipuan, hingga penculikan. Selain Indonesia, Tentara Jepang di Asia Raya telah memobilisasi ratusan ribu (atau mungkin jutaan) perempuan dari sejumlah wilah invasi Jepang seperti China, Korea, Taiwan, dan Filipina.
Mardiyem, seorang penyintas “ianfu” yang menjadi sosok sentral dalam karya Eka Hindra, Momoye, Mereka Meanggilku (2007), usianya masih 13 tahun saat Jepang menduduki Indonesia. Mardiyem diiming-imging menjadi pemain sandiwara oleh ‘calo’ kaki tangan Jepang. Jauh dari panggung teater, Mardiyem bersama 20 perempuan lainnya digelandang ke Asrama Telawang, sebuah ianjo di Kalimantan Selatan. Kamar-kamar dengan label nama Jepang telah menanti mereka. Mardiyem ditipu. Malam pertama di Asrama Telawang, Mardiyem diperkosa tujuh kali.
Mardiyem dan perempuan lain dipaksa melayani 10 hingga 15 orang setiap harinya. Pelayanan ianjo menyediakan sistem karcis berdasar pangkat dan status pengunjung. Satu karcis berlaku untuk satu jam layanan. Pukul 12.00-17.00 sore adalah jam khusus serdadu pangkat rendah dengan harga karcis 2,5 yen/jam. Pukul 17.00-24.00 untuk masyarakat sipil Jepang dengan harga 3.5 yen/jam. Lalu pukul 24.00-pagi diperuntukkan bagi serdadu berpangkat perwira dengan harga 12,5 yen/jam. Setiap tamu yang membeli karcis akan mendapat nomor kamar yang diinginkan, serta dua buah kondom bermutu rendah.
Budaya Pemerkosaan dalam Situasi Perang
Penyediaan budak seks untuk militer Jepang bermula sejak pendudukan Jepang di China tahun 1931. Peristiwa pembantaian Nanking, sebuah episode jagal dan perkosa massal oleh tentara Jepang terhadap penduduk Nanking sebagai strategi perang. Sejarah mencatat dalam waktu enam minggu (Desember 1937 - Januari 1938) tentara Jepang telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan China dari segala umur. Setelah diperkosa, sebagian korban korban lantas dibunuh sesudah diperkosa secara brutal.
“Pembantaian ini membuat banyak tentara terjangkit penyakit kelamin dan melemahkan kekuatan mereka dalam berperang,” tulis sejarawan Hata Ikuhiko dalam bukunya Comfort Women and Sex in The Battle Zone (2018). Krisis kesehatan dalam peperangan lantas mendorong seorang dokter militer, Aso Tetsuo, merekomendasikan penyediaan rumah bordil khusus bagi tentara Jepang. Dengan mendatangkan perempuan-perempuan "bersih" dari wilayah lain, maka kesehatan tentara Jepang dapat dikontrol. Sistem perekrutan paksa terhadap ratusan ribu perempuan untuk dijadikan “ianfu” pun resmi dimulai.
Buku Momoye, Mereka Memanggilku (2007) mencatat ada seorang veteran Jepang, Suzuki Yoshio, yang pernah ditugaskan ke China Utara tahun 1940, bersaksi bahwa tindak pemerkosaan dalam dunia militer adalah tindakan yang wajar, sama wajarnya dengan bertempur. Di balik pewajaran ini ada konstruk budaya yang berkaitan dengan pandangan tradisional mengenai perempuan sebagai objek seksual belaka. Hal ini dikuatkan pula oleh hegemoni maskulinitas yang tumbuh khususnya di kelompok militer Jepang dan umumnya di masyarakat Jepang era kekaisaran.
War and Rape: Analytical Approaches (1993) karya Ruth Seifert menjelaskan bahwa konstruksi maskulinitas di masyarakat hampir tidak dapat dipisahkan dengan heteroseksualitas dan kekerasan. Konstruk tersebut melihat, seorang laki-laki homoseksual dianggap kurang maskulin daripada laki-laki heteroseksual. Demikian juga laki-laki lemah lembut dianggap kurang maskulin daripada laki-laki agresif.
Perang termasuk aktivitas maskulin yang mengekspresikan kultur patriarkal. Lewat peranglah maskulinitas bertabir kekerasan mengejawantah dan memangsa seksualitas perempuan. Semua ini berkaitan dengan hausnya rasa superioritas laki-laki sebagai kelompok yang kuat dan berkuasa, termasuk berkuasa atas tubuh perempuan.
![]() |
Potret Ronasih, penyintas "ianfu" yang hidup seorang diri di Sukabumi, Jawa Barat. Kini kondisi kesehatan dan ekonomi Ronasih semakin memburuk. 31 Oktober 2020. Foto oleh Abida Ainun Nuha/Arsiparia. |
Rape culture (budaya pemerkosaan), atau pewajaran dan normalisasi kekerasan seksual, salah satunya bersumber dari campuran antara perasaan tersebut dan diskriminasi etnis dan gender yang para serdadu Jepang alami selama di medan peperangan mancanegara. Dengan kata lain, “ianfu” sebagai kebijakan perang sedikit-banyak dipengaruhi konstruk kultural masa itu.
Dalam kasus Pembantaian Nanking, para tentara Jepang didoktrin bahwa ras mereka lebih tinggi dari bangsa lainnya. Orang Jepang menyebut etnis China dengan istilah Changkoro, sebutan yang menyiratkan sebuah tatapan pejoratif bahwa etnis China tak lebih seperti hewan atau serangga. Indoktrinasi ini membuat tentara Jepang tidak segan untuk membunuh penduduk sipil dan memperkosa perempuan-perempuan China.
Atasan mereka memberi iming-iming medali untuk serdadu yang berhasil membunuh penduduk China terbanyak. Situasi ekstrim seperti perang memungkinkan pembunuhan terhadap musuh dianggap sebagai prestasi terpuji, sehingga moralitas dan perasaan empati terhadap tindak pemerkosaan akhirnya menjadi hilang.
Perang dan pemerkosaan pada dasarnya dikaitkan oleh fungsi strategis dalam mencapai tujuan-tujuan militer. Yuki Tanaka dalam jurnal berjudul War, Rape and Patriarchy: The Japanese Experience (2019) mengungkapkan bahwa pemerkosaan dalam perang memiliki sejumlah efek yang beragam. Selama periode perang, tindak pemerkosaan berfungsi untuk mengintensifkan agresifitas tentara.
Setelah kemenangan dicapai atau dalam situasi paska perang, pemerkosaan dapat berfungsi untuk mempertahankan rasa dominasi atas pihak musuh, serta anggapan bahwa perempuan adalah rampasan perang yang sah. Tentara Jepang bukan satu-satunya kekuatan militer yang menggunakan pemerkosaan sebagai alat untuk mempertahankan agresifitas tentara. Dalam perang Falklands tahun 1982, tentara Inggris yang diangkut ke medan perang dengan kapal diperlihatkan film pornografi yang bermuatan kekerasan sebagai cara untuk merangsang agresifitas mereka sebelum berperang.
Nasib Akhir Para Penyintas
Kini jumlah penyintas yang masih hidup semakin sedikit. Di usia yang semakin menua, mereka masih menjadi korban kejahatan perang yang tak pernah diakui secara terbuka. Jepang menolak keterlibatan militer dalam kasus “ianfu”, mereka menyatakan ianjo didirikan dan dikelola oleh pihak swasta sepenuhnya untuk tujuan komersil, bukan militer. Sementara pemerintah Indonesia ingin agar kasus “ianfu” dilupakan tanpa ada upaya restorasi hak-hak korban dan rekonsiliasi diplomatik. Sikap dan kebijakan ini nir-empati, dan makin melanggengkan penderitaan penyintas yang tak berkesudahan, bahkan sampai mayoritas dari mereka tutup usia.
Jumlah korban perbudakan seksual oleh militer Jepang selama perang Asia-Pasifik diperkirakan mencapai puluhan hingga ratusan ribu orang. Tahun 1993, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta berhasil mencatat 1.156 penyintas dari berbagai wilayah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Sumatra, hingga Nusa Tenggara. Forum Komunikasi Ex-Heiho Indonesia di tahun 1996 juga melakukan pendataan dan berhasil menemukan 23.277 orang penyintas.
Penulis
Deru Peluru, Perbudakan Seksual dan Lara "Ianfu"
![]() |
Ilustrasi Foto Oleh Muhammad Naziful Haq |
Nasori (bukan nama sebenarnya) mendengakkan kepalanya sedikit. Matanya meraba layar berukuran 5 inci yang ia genggam, memastikan gambar yang terpotret gawainya itu benar-benar fokus. Baru beberapa detik ia memfokuskan kamera gawai, dari belakang terdengar himbauan yang agak lantang “eh awas kepalanya Nas! Aku belum moto PPT.”
Nasori menyingkir sambil berdesakan dengan kawan-kawannya yang lain yang ingin memotret materi pelajaran dari sorot layar proyektor. Suasana kelas gaduh. “Nas, bagi fotonya dong. Kirim ke WA” sergap salah seorang teman Nasori. “Makasih ya Nas” kata teman Nasori setelah mendengar suara pemberitahuan dari gawainya.
Suasana yang dialami Nasori umumnya dapat kita temui ketika kelas berakhir. Di era digital, semua pelajar punya buku, namun belum tentu punya catatan. Dan semua pelajar punya foto materi pelajaran, namun belum tentu semua foto tersebut diserap substansinya oleh pikiran.
Seorang filosof Inggris, Luciano Floridi (2014) menyebutnya era hyperhistory, sebuah periode masa ketika jumlah rekaman yang dibuat manusia melampaui batas wajar satuan waktu dan kuantitasnya di luar kemampuan pencerapan manusia. Periode di mana jumlah informasi dari awal sejarah manusia lahir hingga ke tahun 2000 tidak sebanding dengan ujung kuku dari jumlah informasi dari tahun 2000 ke 2020. Sejarah (atau informasi), akhirnya terlalu cepat dan terlalu banyak dicatat hingga terlalu mudah dilupakan.
Nasori mungkin akan memiliki coretan di buku catatannya, dan terggelam dalam subtansi materi pelajaran yang ia tulis bila ia hidup bukan di era hyperhistory. Di era hyperhistory, informasi dapat diperoleh dengan mudah, akurat keberadaannya dan disimpan dengan penuh kepastian. Jadi, Nasori tidak perlu merasa khawatir kehilangan informasi yang baru saja ia peroleh di kelas.
Minimnya rasa kekhawatiran kehilangan informasi menyebabkan informasi menjadi cepat menjenuhkan bila dilihat terlalu serius ataupun berulang-ulang. Nasori juga merasa baik-baik saja meski subtansi foto yang ia potret belum berpindah ke dalam ingatannya karena ia merasa aman bahwa informasi telah terabadikan di gawainya.
Era Oral: Nasori Harus Mengingat
Bila Nasori hidup di era oral, nasibnya akan sangat berbeda meski kekhawatiran akan kehilangan informasi tetap ada namun sedikit lebih rendah dibanding di era hyperhistory. Di era oral, kalau Nasori salah bicara, maka ia bisa dibunuh oleh komunitas tempat ia tinggal. Transmisi informasi dari mulut ke mulut menentukan keberlangsungan hidup. Kebalikan dari era hyperhistory, di era oral, jumlah informasi sangat langka, namun kualitasnya sangat akurat. Bayangkan, kira-kira masalah apa yang akan muncul jika Nasori memberikan informasi palsu kepada komunitasnya ketika mereka sedang berburu Babi?
Di komunitas tempat Nasori tinggal, belum ada tulisan yang dapat Nasori baca. Komunitasnya hanya mengenal lukisan di dinding goa. Mereka hanya menuangkan pengalaman penting dalam lukisan dinding goa. Di kehidupan sehari-hari, obrolan yang Nasori dan komunitasnya bicarakan sangat terbatas pada pengalaman indrawi.
Hal itu salahsatunya disebabkan karena Nasori dan komunitasnya belum punya tempat penyimpanan informasi yang lebih aman selain ingatan mereka sendiri dan dinding goa. Walter J. Ong, dalam bukunya yang berjudul Orality and Literacy (1985), mengatakan, masyarakat era oral gemar menyematkan kata sifat yang gemerlap dan menggunakan gaya berbahasa yang repetitif agar mudah mengingat sesuatu. Syair merupakan salah satu bentuk cara masyarakat oral untuk memvalidasi sesuatu, sama validnya sebagaimana screenshot di masa kini.
Selain belum tersedianya tempat penyimpanan yang lebih aman, masalah lain yang Nasori hadapi bila ia hidup di era oral adalah, betapa ‘lokal’-nya informasi yang bersliweran di sekitarnya saat itu. Bertatap muka dengan orang lain mau tidak mau menjadi satu-satunya cara agar Nasori bisa mengetahui sesuatu. Karena ingatan adalah satu-satunya tempat penyimpanan yang bisa dibawa kemana-mana, mau tidak mau Nasori harus fokus ketika bertatap muka dengan orang lain, memastikan pikirannya merekam ucapan dengan baik. Kalau ada konteks ucapan yang membingungkan, Nasori bisa seketika itu juga mengklarifikasinya ke lawan bicara.
Era Tulisan: Nasori Harus Analitik
Lain cerita jika Nasori hidup di era tulisan. Alkisah, dulu ada seorang raja di Mesir bernama Raja Thamus. Ia dikunjungi oleh seorang dewa penemuan, Theuth. Theuth berkunjung ke balairung untuk pamer sekaligus meminta raja merestui temuan-temuan barunya. Jadilah Dewa Theuth mendemonstrasikan temuan-temuannya. Geometri, aritmatika, dan sebagainya ia peragakan. Hingga tibalah di peragaan tulisan. Ketika hendak memperagakan tulisan, Theuth berkata:
“Yang Mulia, ini [tulisan] adalah adalah obat bagi lupa. Dan semua orang bisa membawa pengetahuannya kemanapun.”
“Wahai Theuth, Bapak dari Segala Temuan! Temuanmu yang satu ini (tulisan) bukanlah obat lupa. Tapi orang akan menulis dan berhenti mengingat, dan kebijaksanaan palsu akan muncul.”
Di era tulisan, Nasori tidak harus selalu bertatap muka untuk mendapat informasi baru. Namun ia perlu berpikir dengan perlahan ketika membaca tulisan agar tidak salah paham konteksnya. Oleh karena itu, tumpuan utama masyarakat era tulisan bukanlah penyematan kata sifat ataupun repetisi, tapi grammar. Grammar dibutuhkan agar pembaca tulisan tidak salah paham. Pada taraf konsekuensi tertentu, kebiasaan menggunakan grammar menyebabkan terciptanya masyarakat yang analitik. Mereka teliti dalam membaca alur gagasan antar kalimat.
Bila ada kebingungan dalam memahami konteks tulisan, Nasori perlu menemui penulisnya yang berada di lokasi dan jarak yang entah di mana. Hal inilah yang menurut pandangan Raja Thamus dapat memberikan ruang bagi kebijaksanaan palsu.
Akan tetapi, komentar Raja Thamus terhadap tulisan tidak sepenuhnya benar. Berkat tulisan, informasi dapat berpindah tempat, atau dengan kata lain, terjadi distribusi pengetahuan. Ketika semua orang mulai menulis, maka butuh tempat penyimpanan. Awalnya hanya menyimpan di batu, lalu di daun lontar, lalu menyimpan di kertas, dan sampailah dibangun perpustakaan.
Sebab itulah, seorang Raja di Persia kuno, Anu Syirwan, mau repot-repot mengutus seorang penerjemah bernama Barzawaih untuk menyalin naskah Hikayat Kalilah & Dimnah yang ditulis oleh seorang arif-bestari, Baidaba, di tanah Hindustan. Sama halnya seperti Barzawaih yang perlu mempertaruhkan nasib hidupnya dalam perjalanan yang tak pasti, dari Persia ke Hindustan, begitu juga nasib Nasori di era tulisan bila ia hendak mencari informasi baru.
Di era tulisan, bila Nasori adalah seorang pelajar yang tekun dan terlahir di daerah rural, maka berkelana adalah kegetiran yang harus ia terjang. Sebabnya, kota adalah tempat sirkulasi informasi. Di dalamnya ada kafilah dagang, dan bermacam ilmuan dan petualang yang butuh dituangkan informasinya atau diabadikan kisahnya. Maka dibangunlah perpustakaan.
Artinya, mengunjungi perpustakaan Aleksandria, Baghdad ataupun Damaskus adalah bukti komitmen bahwa Nasori benar-benar serius menjadi pelajar. Di sela-sela kelananya, Nasori bisa bertemu dengan beragam kafilah dan rombongan karavan yang dari banyak daerah. Berjumpa dengan mereka, baik itu di dalam kota ataupun di jalur lintas daerah, sama ibaratnya dengan menyambangi angkringan ke angkringan di Yogyakarta saat ini. Selalu ada informasi baru.
Berkelana di era tulisan adalah cara cepat mendapatkan informasi, sama ibaratnya seperti melakukan googling di era hyperhistory. Bila Nasori malas, ia cukup berdiam di kampung halamannya dan menanti karavan yang mampir di daerahnya untuk mengisi ulang perbekalan. Dari situ Nasori bisa mendapat informasi baru, kertas, dan bila beruntung, mendapat buku baru.
Akan tetapi, baik itu berkelana ataupun berdiam diri di kampung, dua-duanya adalah langkah awal bagi Nasori untuk mendapatkan informasi baru. Langkah berikutnya adalah Nasori harus memastikan dirinya ‘literate.’ Misalnya, di dalam karyanya Ibnu Khaldun yang monumental, Muqaddimah, ada sebuah uraian tentang perbedaan, di Spanyol, Maghrib (sekarang adalah Maroko, Afrika Utara), dan di Ifriqiyyah (daerah timur Afrika dan semenanjung Arab seperti Mesir dan sekitarnya), soal standar minimum tingkat literasi yang harus dipenuhi sebelum seseorang boleh belajar Qur’an.
Bila Nasori belajar di Magrib, ia harus menguasai ortografi Al-Qur’an dan mengusasi perbandingan pendapat antar para Al-Qur’an terdahulu sebelum ia diperbolehkan mempelajari yurisprudensi, filologi arab dan sastra. Bahkan, Nasori tidak akan diperbolehkan ‘boyong’ atau hengkang begitu saja sebelum ia benar-benar menguasai kurikulum utama.
![]() |
Gambar 3 Papan sekolah di Andalusia abad 12. (sumber: http://bdh.bne.es/bnesearch/detalle/bdh0000050696) |
Bila Nasori tinggal di Spanyol, Nasori wajib menguasai filologi dan sastra Arab terlebih dahulu sebelum ia diperbolehkan mempelajari Al-Qur’an. Tentang cara belajar di Spanyol, Ibnu Khaldun mengutip komentar seorang hakim yang bernama Abu Bakar bin Al-Arabi, “syair [sastra] adalah arsipnya orang Arab. Sastra dan filologi Arab harus diajarkan terlebih dahulu karena saat ini terjadi kebobrokan berbahasa. Bila telah menguasai keduanya, seorang kemudian pelajar harus mempelajari aritmatika sampai benar-benar menubuh, dan memahami prinsip dasarnya. Setelah itu, ia baru boleh mempelajari Al-Qur’an.” Di Ifriqiyyah, Nasori akan mendapat kurikulum yang menekankan keseimbangan antara studi Al-Qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Bila Nasori telah menguasai ilmu umum dan ilmu Al-Qur’an, ia diharuskan menulis. Apapun.
Gambaran situasi di tiga daerah tersebut menyiratkan bahwa, Nasori pelu memiliki kualifikasi tertentu sebelum berinteraksi dengan bentuk media tertentu (Tulisan dan oral) agar tidak terjadi, mungkin istilahnya, intellectual malfunction?
Masa Depan Nasori di Era Hyperhistory
Di dua era yang telah disebutkan di atas, Nasori sebagai manusia masih memiliki fungsi diri yang luas. Artinya, ia masih dituntut untuk mengingat, mencatat dan menganalisa. Di era hyperhistory, fungsi diri itu perlahan―namun agresif―diakuisisi oleh teknologi. Per-2018, setidaknya ada 2.5 quintrilliun (25.000.000.000.000.000.000) data yang dihasilkan oleh penduduk Bumi dalam satu hari.
![]() |
Gambar 4 Server di Silicon Valley (sumber: shuttlestock) |
Nasori tidak perlu bersusah payah berkelana menemui seseorang di suku sebelah dan menyimak ucapannya dengan seksama. Saat ini ia dilingkupi rasa aman bahwa ucapan orang bisa ‘diputar ulang’ dan tersimpan aman sekaligus mustahil terhapus. Berkunjung ke perpustakaan juga bisa termasuk kegiatan yang tidak lagi diperlukan ketika berdiam diri kamar bersama gawai bisa sekejap mengantarkan Nasori pada semua tulisan Aristotle yang selamat.
Kepastian penyimpanan, lokasi, manajemen dan pengelolaan informasi membuka bentuk perilaku baru. Di dua era sebelumnya, Nasori menggantungkan kepastian informasi pada tubuhnya. Seiring berjalannya waktu, ketergantungan itu membuat Nasori dipayungi oleh predikat-predikat yang orang zaman dulu menyebutnya ‘hewan yang berpikir,’ atau ‘de anima’ (makhluk yang mengiluminasi dunia), ‘terhantar dari kegelapan ke terang.’ Artinya, Nasori adalah makhluk berintelegensia yang tumbuh kembangnya dipupuk oleh waktu.
Di era hyperhistory, Nasori menggantungkan kepastian informasi pada ‘sesuatu’ yang berada di luar tubuhnya. Saat ketergantungan itu beriringan dengan datafikasi segala aspek kehidupan, atau on-life, maka hidup Nasori digerakkan oleh satu hyperlink ke hyperlink lain. Baik itu hyperlink yang ada di halaman website, ataupun hyperlink dalam obrolan sehari-hari yang berupa gugahan hasrat pencarian daring.
Sebelum mengetahui sesuatu, Nasori perlu merasa penasaran dan mencari sesuatu tersebut. Siklus ini terjadi secara berulang dan dalam jangka panjang. Dunia yang Nasori tinggali berubah menjadi ‘information dread-out,’ Artinya, Nasori tahu sekaligus lupa dalam sekejap karena terlalu banyak informasi dan hyperlink yang perlu ia kejar dan jelajahi.
Sebagaimana dua era sebelumnya yang memiliki format belajar yang menyesuaikan dengan cara menyimpan dan mengelola informasi pada zamannya, di era hiperhistory, Nasori punya cukup pendek waktu untuk mengingat, dan punya cukup luas penyimpanan untuk menampung informasi, dan punya cukup cerdas alat untuk berpikir. Nyaris tidak tersisa dari diri Nasori yang masih perlu digunakan lagi.
Ribuan tahun lalu, Aristole pernah menyatir, “belajar butuh waktu nganggur, tapi waktu nganggur belum tentu butuh belajar.” Dulu Nasori selalu dibayangi rasa takut dan rasa ketidak-pastian: kalau bepergian tak tau arah dan takut tersesat; kalau bertemu orang, tak tau apakah ada kesempatan berjumpa berikutnya, bagaimana kabarnya dan apakah masih hidup atau tidak; kalau lapar, tak tau kapan musim dan di mana tanah yang tepat untuk menanam pangannya; kalau sakit, tak tau obatnya.
Dengan kata lain, mampu bertahan hidup atau tidaknya Nasori bergantung pada kemampuan diri dalam menerangi terra incognita, atau gelapnya wilayah ketidak-tahuan. Rasa takut dan rasa ketidak-pastian itu mendorong Nasori untuk terus selalu meningkatkan ‘pendar cahaya’ dalam dirinya. Saat pendar cahaya itu berpindah ke teknologi, bukan lagi di dalam dirinya, maka, masihkah belajar cocok untuk mengisi waktu luang Nasori? Jawabannya tergantung saat pulang sekolah nanti.
Penulis dan Ilustrasi Foto oleh: Muhammad Naziful Haq/Arsiparia
Dari Berburu Babi Sampai Foto PPT: Sepenggal Kisah Nasori Si Anak Sekolah
Linimasa
Trending
-
Lima puluh lima tahun silam tujuh perwira tinggi militer diculik dan dieksekusi oleh antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Rakyat pun...
-
Umi Kulsum, penyintas yang telah meninggal 2019 (ketiga dari kiri) beserta keluarganya berfoto di sebuah studio di Sukabumi, Jawa Barat. Pot...
-
Ilustrasi Foto Freepik “Bagi anda yang jadi arsiparis yang cukup magel ya, magel itu istilah lain untuk telo, tau ketela ya mas ya? telo, te...
Featured Post
