Pandemi dan Sikap Masyarakat dalam Kerja Pengarsipan

Foto oleh Adli Wahid_Unplash
 
Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang. Ketika dua budaya berbenturan, yang kalah dilenyapkan, dan pemenangnya menulis buku-buku sejarah – buku-buku yang memuliakan tujuan mereka sendiri dan meremehkan musuh yang ditaklukkan. Dengan sifatnya sendiri, sejarah selalu ditampilkan dengan satu sudut pandang” (Dan Brown, The Da Vinci Code. 2014:276).

Maksud pemenang dalam kutipan diatas terkesan bias, faktanya sejarah tidak selalu ditulis oleh para pemenang, Arsip bukan merupakan satu-satunya objek dalam penulisan sejarah. Fakta dan realita di dalam esensial arsip tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya dan keberadaban masyarakat yang berkembang pada masa itu. Fungsi daripada arsip itu sendiri lebih tepatnya sebagai cara melihat sudut pandang dan aturan main yang dapat membentuk keteraturan khusus dari apa yang bisa dan tidak bisa dijelaskan. Stoler dalam Colonial Archives and the Arts of Governance mengungkapkan bahwa berbeda halnya ketika arsip dan sejarah telah dihubungkan sebagai alat politik, dengan begitu dokumentasi dan pengarsipan informasi terkait proses perkembangan suatu masa dapat dikontrol oleh pemenang (2002:98).

Terdapat legitimasi pribadi dalam menentukan pemenang sesungguhnya. Arsip sebagai salah satu bukti yang paling mendekati fakta seperti disalahartikan dengan adanya anggapan yang selalu menempatkan bahwa arsip itu penting. Misalnya dalam masa Pandemi Covid-19 yang sudah pasti akan menghasilkan sejarah baru. Klaim bahwa arsip selalu mempunyai peranan penting, seolah arsip hanya satu-satunya bukti eksklusif untuk menyajikan sejarah.

Semua bentuk informasi yang memungkinkan sebuah bukti suatu perkembangan peradaban digeneralisir dengan menganggap semua adalah arsip, dengan tidak melihat kontekstualisasi bentuk dan fungsi informasinya. Pengertian teori dasar arsip hanya termaktub dalam jajaran dan tatanan kebendaan, yang mana selalu disandingkan dengan retorika kepentingan dan kebutuhan. Hal yang selalu harus dianggap penting dan harus dipentingkan secara luas dan umum. Padahal setiap orang selalu mempunyai klaim atas kebutuhannya.

“Nggak Nyangka kalau Arsip itu Penting” judul berita yang diterbitkan kanal web ANRI pada 16 April 2013. Kalimat Arsip itu penting telah menjadi kalimat wajib yang sangat mudah ditemui dalam setiap catatan, seminar, karya ilmiah, berita, hingga buku-buku yang berlatar belakang kearsipan. Kalimat arsip itu penting seakan telah menjadi doktrin yang mempunyai nilai pasar untuk menggambarkan keheroikan arsip dalam setiap sektor kehidupan.

Setidaknya akan terdapat dua kemungkinan apabila arsip hanya dilihat sebagai kebendaan. Pertama, kemungkinan anggapan skeptisme arsip sebagai bukti yang sah. Seakan arsip sebagai objek yang menghasilkan produk eksklusif dan paling berharga dari fakta yang telah terjadi. Kedua, anggapan yang membangun ketidakpercayaan seolah arsip hanya satu-satunya bukti dari sejarah yang telah ditulis. Sehingga arsip justru hanya sekedar untuk membedakan antara fiksi atau fakta daripada melacak produksi dan konsumsi fakta sejarah itu sendiri.

“Perlawanan terberat dalam sejarah adalah melawan lupa. Kata lupa menjadi instrumen analitis untuk menengok fakta sejarah secara adil. Agar sejarah tak dikuasai tapi dimengerti dengan tanda. Tanda dari sejarah adalah fakta sejarah yang berserahkan” (Munir Sara- Musuh Sejarah adalah Lupa, 2018)

Tidak semua hal dapat selalu dihubungkan dengan klaim ‘arsip itu penting’. Inisiatif dan inovasi dalam masyarakat tumbuh tanpa kendali sebuah kebijakan maupun terpaku oleh sebuah sistem yang kaku. Dalam situasi Pandemi Covid-19 demikian, inisiatif personal, maupun kelompok tertentu, tumbuh dan berkembang secara mandiri dan kreatif, yang menjadikan makna arsip sebagai bentuk kebebasan, tergantung klaim setiap orang tanpa terbatas ruang dan waktu.

Persoalan dasar cara pandang, penentuan bukti sejarah, dan pengarsipan suatu peradaban justru harus dibangun melalui realitas sosial kepentingan hidup masyarakat secara luas, dengan melihat kembali yang terjadi pada masa lampau, dan kemungkinan yang akan terjadi pada masa depan, Dalam praktik sehari-hari, pengelolaan, pemeliharaan, penggunaan, dan cara melihat arsip yang dikerjakan dengan inisiatif melalui praktek keseharian di dalam masyarakat tumbuh secara beragam dengan tanpa menghadirkan kepentingan arsip itu sendiri. Prespektif masyarakat melihat arsip menghadirkan makna, ekspresi, bahasa, dan media yang beragam sekalipun harus mengahadapi perkembangan jaman yang begitu cepat berubah dan kompleks.

Masyarakat lebih layak dikatakan sebagai pemenang dalam masa Pandemi Covid-19 ini, masyarakat berada pada garda terdepan dalam melakukan dokumentasi peradaban yang menghasilkan arsip-arsip yang dianggap sebagai wujud personalitas. Artinya masyarakat dapat mendokumentasikan apa yang terjadi pada hari ini sesuai dengan apa yang telah mereka alami, dengan tidak terbatas oleh berbagai media. Masyarakat menyimpan memori mereka dalam berbagai wujud yang dapat mengedukasi sekaligus memberikan proses yang hikmat. Seperti halnya masyarakat dengan bermodal waktu kebersamaan yang lebih dapat merunut susur galur keluarga sampai mengetahui pohon keluarga sesuai dengan nasabnya.

Menurut Larassati (dalam Wardani dan Murti (eds.), 2014:186) Arsip dalam hal ini menjadi sebuah fregmentasi dari ingatan-ingatan atau pilihan-pilihan yang melahirkan proses kesejarahan dan makna baru dalam kehidupan, berdasarkan presepsi, representasi dan interpratasi penikmatnya. Sehingga arsip secara kegunaan mewakili pilihan-pilihan pembuatnya, termasuk cara merespon, menjalani, dan menikmati sebuah proses waktu dengan kegiatan yang akan, baru, dan telah dilakukan.

Masyarakat mempunyai peran khusus untuk menyimpan memori masa pandemi tanpa merasa dirinya penting. Klaim arsip itu penting terkesan eksklusif dan terlalu menganggap dirinya berperan penting, tanpa menyadari urgensi kepentingan yang justru secara tidak langsung telah membatasi perkembangan makna sebuah arsip dan kerja pengarsipan. Sebagaimana fakta hanya sebagai pemantik seseorang untuk mencari makna, dan sebagaimana arsip sebagai salah bukti yang paling mendekati fakta.


Ditulis oleh Abida Ainun Nuha/Arsiparia.

0 komentar