Karya instalasi digital After the 86th Stroke, Synchronize Fest X tahun 2025 yang berlangsung di JIExpo Kemayoran. Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
Di antara cadas dan pecahnya Synchronize Fest X 2025 di JIExpo Kemayoran yang berlangsung pada 3, 4, 5 Oktober 2025, sebuah instalasi digital After the 86th Stroke menyelinap dengan sunyi namun tajam. Karya ini membisikkan sejarah yang selama ini dibungkam, jeritan yang disublim dalam cahaya, dan detak yang menuntut kita untuk mendengar kembali dengan hati yang utuh. Di balik ketukan yang berulang seperti denyut nadi terakhir, kita diajak menyimak wajah-wajah yang pernah dipaksa bungkam, para perempuan yang dijadikan budak seks militer Jepang dikenal dengan sebutan “ianfu”.
Potongan-potongan poster propaganda dan visual perang diputar berulang seiring irama enigmatik yang menyuarakan kembali kehadiran wajah-wajah korban yang selama ini terhapus dari kesadaran kolektif. Instalasi ini menjadi ruang pengalaman yang mengalih media visual menjadi suara. Tiap potongan visual mengandung tubuh. Ritne keduanya seolah menggugat, akankah kita tetap lupa?
Penampilan musik oleh @ramaputratantra dan @san_gondez dalam instalasi digital After the 86th Stroke pada Synchronize Fest X tahun 2025 di JIExpo Kemayoran. Difoto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
EkaHindra, sebagai narator dan peneliti yang selama lebih dari dua dekade mengumpulkan kesaksian para penyintas “ianfu”, menyisipkan kehadirannya secara halus namun tajam. Dalam karya ini, suaranya bukan hanya narasi, ia adalah penjaga ingatan, saksi sunyi yang tak ingin sejarah ini kembali dikubur oleh kealpaan kolektif.
![]() |
Suasana Pengunjung di karya instalasi digital After the 86th Stroke, Synchronize Fest X tahun 2025 yang berlangsung di JIExpo Kemayoran. Foto oleh Rahmad Azhar Hutomo. |
Editor oleh Muhammad Naziful Haq
After the 86th Stroke - By kinski.kinski.kinski x Arsiparia x EkaHindra
|
Jakarta, 8 April 2025, Low End Theory adalah program diskusi dari OK.Video yang berfokus pada kolaborasi dan pengolahan arsip dalam berbagai medium. Edisi kedua ini bekerja sama dengan ARSIPARIA, kolektif pengarsipan yang sejak 2020 aktif mendokumentasikan dan mempreservasi arsip-arsip mengenai Ianfu di Indonesia. Acara ini juga turut merupakan kelanjutan eksplorasi kolaboratif tentang apa yang mungkin bisa dilakukan dari kerja-kerja kearsipan Ianfu di Indonesia.
Diskusi dimoderatori oleh Berto Tukan dari Jurnal Karbon dan menghadirkan lima narasumber: Muhammad Naziful Haq (ARSIPARIA), Risa Tokunaga (Tokyo University of Foreign Sudies), Ruth Indiah Rahayu ( Aktivis & Redaktur IndoPROGRESS), dan EkaHindra (Peneliti Indipenden Ianfu). Para pembicara memberikan pembedahan berdasarkan latar belakang masing-masing dan menekankan pentingnya reaktualisasi dan relevansi isu ianfu untuk situasi masa kini.
Nazif membuka sesi dengan menceritakan awal mula ARSIPARIA berdiri dan koleksi arsip apa saja yang ARSIPARIA miliki. Berdiri pada 2019, ARSIPARIA mulai menjalin kolaborasi bersama EkaHindra. Banyak dari koleksi arsip EkaHindra yang sebagian besar berupa arsip personal penyintas Ianfu, dipreservasi oleh ARSIPARIA. Seiring berjalannya waktu, arsip-arsip ini mulai diolah menjadi aneka bentuk tulisan dan format lain yang berusaha memperkenalkan isu Ianfu kepada publik.
Eka membagikan bagaimana pertemuan pertamanya dengan isu Ianfu hingga membawanya pada posisi saat ini sebagai peneliti yang telah menerbitkan beberapa buku tentang Ianfu. Baginya, aktivisme untuk isu Ianfu telah banyak, tetapi kerja penelitian masih relative sedikit di Indonesia. Menurut Eka, data-data material ataupun kesaksian penyintas perlu dikumpulkan. Selain karena dapat memperkuat kerja-kerja aktivisme, data-data ini juga berpacu dengan waktu.
Risa menjelaskan bahwa kajian Ianfu sangat penting karena di beberapa wilayah lain seperti Singapura, Jepang dan terutama Korea, isu ini tidak saja telah dikaji secara serius melainkan juga telah menjadi memori kolektif yang berpengaruh terhadap kesadaran nasional.
![]() | |
|
Sementara itu Ruth memaparkan, pokok utama isu Ianfu sebenarnya tidak sebatas soal kejahatan perang dan perkosaan, tetapi ada military complex di baliknya. Perbudakan seks secara massal tidak mungkin bisa dilakukan tanpa military complex yang sistematis yang kelak dapat menghindarkan pihak-pihak militer untuk bertanggungjawab.
Selama 2 jam lebih, diskusi ini telah memantik beragam gagasan yang layak dibahas lebih matang pada pertemuan yang lebih mengerucut.
DItulis oleh Muhammad Naziful Haq.
- Acara kolektif ini diselenggarakan oleh OK Video, Jurnal Karbon, dan Arsiparia dalam ruang lingkup Gudskul ekosistem.
Low End Theory #3 – Kisah Ianfu dan Refleksi Atasnya.
Audiens dan personil Arsiparia dalam diskusi Low End Theory #2 (Dok. Arsiparia) |
Jakarta, 8 Maret 2025 – Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional sekaligus mengenang 83 tahun pendudukan Jepang di Hindia Belanda, OK.Video, Jurnal Karbon, dan ARSIPARIA menyelenggarakan acara Low End Theory #2: Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945. Acara ini berlangsung di Aula Gudskul Ekosistem, Jakarta, dengan menggabungkan diskusi, presentasi arsip, dan pemutaran dokumentasi sejarah terkait Ianfu—istilah yang merujuk pada perempuan korban sistem perbudakan seksual oleh militer Jepang.
Low End Theory adalah program diskusi dari OK.Video yang berfokus pada kolaborasi dan pengolahan arsip dalam berbagai medium. Edisi kedua ini bekerja sama dengan ARSIPARIA, kolektif pengarsipan yang sejak 2020 aktif mendokumentasikan dan mempreservasi arsip-arsip mengenai Ianfu di Indonesia. Acara ini juga turut mengenang 100 tahun kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer melalui pembacaan dan penelaahan karyanya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
|
Diskusi dimoderatori oleh Berto Tukan dari Jurnal Karbon dan menghadirkan lima narasumber dari ARSIPARIA: Afrianda Setiawan, Muhammad Najiful Haq, Rahmad Azhar H, Mifta Febri Ardani, dan Abida Ainun. Para pembicara membedah secara historis dan dokumentatif realitas pahit yang dialami para Ianfu di Indonesia, serta menekankan pentingnya kerja pengarsipan sebagai bagian dari upaya memulihkan memori kolektif bangsa.
Afrianda membuka sesi dengan memperkenalkan latar belakang berdirinya ARSIPARIA—yang bermula dari kebutuhan mendesak menyelamatkan arsip keluarga pasca banjir besar Jakarta tahun 2019. Seiring waktu, ARSIPARIA berkembang menjadi kolektif yang berfokus pada pengarsipan sejarah keluarga, sejarah minor, dan suara-suara yang kerap terpinggirkan.
Nazif menyampaikan pemaparan historis mengenai praktik perbudakan seksual oleh militer Jepang di awal abad ke-20 sebagai konteks kemunculan sistem Ianfu. Ia juga menyoroti masih minimnya kesadaran publik dan kebijakan negara dalam menangani kekerasan seksual, termasuk perbedaan data jumlah korban yang belum terverifikasi hingga kini.
Rahmad Azhar, yang juga merupakan seorang fotografer dokumenter, membagikan pengalamannya mendokumentasikan kehidupan penyintas seperti Ronasih dan Umi Kulsum di Sukabumi. Ia menekankan bahwa fotografi bukan sekadar medium visual, tetapi juga bagian penting dari proses pengarsipan sejarah.
Miftah membahas tantangan teknis dalam upaya preservasi arsip, mulai dari digitalisasi hingga konservasi dokumen kertas dan pita magnetik yang rusak akibat bencana. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan akses terhadap arsip-arsip ini lintas generasi.
Abida menutup sesi dengan memaparkan dokumen hukum terkait hubungan Indonesia-Jepang pasca perang yang tidak mencantumkan hak-hak korban secara eksplisit. Ia juga menampilkan dokumentasi pribadi milik para penyintas, seperti foto keluarga Umi Kulsum dan peninggalan pribadi Mardiyem, yang kini menjadi bagian dari arsip ARSIPARIA.
Acara ditutup dengan pemutaran wawancara bersama Akisa Matsuno, peneliti asal Jepang yang mendalami isu Ianfu di Asia Tenggara. Dalam wawancara tersebut, Matsuno menegaskan bahwa konflik Ianfu adalah konflik memori, bukan sekadar sejarah. Mewariskan ingatan ini ke generasi mendatang, menurutnya, adalah bagian dari perjuangan menuju demokrasi dan keadilan.
Selama dua jam penuh, acara ini berhasil mempertemukan berbagai perspektif tentang sejarah, memori, dan pentingnya kerja pengarsipan dalam menghadapi masa lalu yang belum selesai. Lebih dari sekadar mengenang, acara ini menjadi ruang refleksi atas kekerasan berbasis gender di masa kini, serta urgensi memperjuangkan keadilan bagi para penyintas dan keluarganya.
Ditulis oleh Vania Sukma, Sahabat Arsiparia.
- Acara kolektif ini diselenggarakan oleh OK Video, Jurnal Karbon, dan Arsiparia dalam ruang lingkup Gudskul ekosistem.
Low End Theory #2 – Perempuan di Masa Pendudukan Jepang 1942–1945
Trending
-
Lima puluh lima tahun silam tujuh perwira tinggi militer diculik dan dieksekusi oleh antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Rakyat pun...
-
Umi Kulsum, penyintas yang telah meninggal 2019 (ketiga dari kiri) beserta keluarganya berfoto di sebuah studio di Sukabumi, Jawa Barat. Pot...
-
Ilustrasi Foto Freepik “Bagi anda yang jadi arsiparis yang cukup magel ya, magel itu istilah lain untuk telo, tau ketela ya mas ya? telo, te...
Featured Post
